Selamat Datang di Situs Wajit Subang. Ayo Bersilaturahmi Dekatkan Rezeki!

Selasa, 09 Juli 2013

Ngabuburit ke Cipanas Subang

Setiap mengawali bulan puasa selalu terasa keharuan di jiwa. Ya... beribu nostalgi yang bercampur antara kesyahduan bulan yang suci dan kedamaian masa kecil tatkala menjalani puasa di kampung halaman.

Seperti diketahui pada rentang akhir tahun 70-an dan dasawarsa 80-an, hampir sebagian besar penggalan waktu di bulan suci merupakan hari libur sekolah. Jika dihitung, masa efektif sekolah di bulan itu berkisar satu pekan tepatnya pada minggu kedua. Ketika itu, kegiatan sekolah diisi oleh program pesantren kilat.

Pernah suatu masa, pesantren kilat diadakan di Masjid Attaqwa di pusat kota Kecamatan Subang. Sebuah acara mengisi ramadhan yang diikuti oleh gabungan siswa-siswi SDN, MI, SMPN dan MTSN yang berada di Desa Subang. Kala itu di Desa Subang ada 5 buah SD, terdiri dari SDN I di Bulak Caringin, SDN II di Dusun Tarikolot, SDN III di Burujul (Sekarang Rengganis), SDN IV di Dusun Cimalaka, dan SDN V di Cikembang (Sekarang menjadi Desa Bangunjaya). Sedangkan MI (Madrasah Ibtidaiah) berlokasi di Dusun Tarikolot, SMPN di Burujul dan MTSN berada di Ngohol. Sedangkan para pengajar adalah para guru agama yang mewakili dari berbagai sekolah, diantarnya Ibu Khadijah dari SDN III, Pak Hidayat dan Pak Juhana dari SMPN, Pak Tamjid yang mewakili DKM Attaqwa, dan lainnya. Materi yang disampaikan berkisar pelajaran tatacara sholat, tajwid, tata cara puasa, taddarus, dan berbagai pernak-pernik lainnya.

Bagi saya, terkadang bagian yang paling horor... adalah saat ditest baca Al-quran satu persatu di hadapan staf pengajar dan siswa lainnya. Secara saat itu saya masih duduk di bangku SD dan belum mengenal huruf hijaiyah dengan baik, apalagi jika harus dirangkai menjadi bacaan dalam momen taddarus bergilir. Panas dingin deh rasanya... dan malunya ngga tertahankan... soalnya di depan para siswi juga... bayangin aja kalo di depan siswi yang ditaksir... hi..hi.. 

Saya memang tergolong yang telat melek baca Al-quran, disaat teman sebaya udah lancar dan fasih banget bacanya. Teman-teman sekolah yang paling lancar adalah mereka yang berasal dari Kampung Sukasari. Di kampung ini teman-teman terbiasa belajar intensif harian di pesantren Kyai Sulaeman, Tajug Pak Juhana, dan Tajug Mama-nya Aceng. Minder deh rasanya kalo dibandingkan mereka, terlebih lagi jika ditanya tajwid dan makhroj-nya... serasa menciut dan pengen kabur aja... he..he...

Seingat saya, tergolong mulai lancar baca Al-quran itu menjelang akhir lulus SMP... he..he.. telat ya...!  Berawal dari pengenalan huruf hijaiyah dan Juz-Amma oleh orang tua saya. Bapak saya cukup keras mengajari saya kala itu. Saya terkadang sampai menangis dan ngga berkutik mendapat bentakan beliau. Kata-kata yang selalu terngiang adalah: "Kakek-nya haji masa ngga bisa baca Quran...?". Saya menyadari saya tergolong yang malas ke tajug. Alasannya simpel... rumah orang tua memang agak terpencil. Untuk sampai ke tajug di Bulak Caringin, saya harus melewati jalan yang cukup gelap... tanpa melewati rumah di kiri-kanan jalan. Belum ada listrik apalagi penerangan jalan semasa itu. Barangkali hanya terang bulan purnama yang bisa membantu saat itu. So, jika pulang dari tajug, untuk mengatasi ketakutan akan kegelapan... saya berlari pontang-panting sekuatnya untuk segera mencapai rumah... he..he..!

Fase yang cukup sweet dalam perjalanan membaca Al-quran saya adalah bimbingan dari Teh Emus...! Dia adalah remaja dari tetangga kampung sebelah tepatnya Sukasari, yang membantu tugas-tugas domestik di rumah orang tua saya. Dikala senggang dia meluangkan waktu mengajari... panjang-pendek bacaan, makhroj, terkadang tajwid... dengan metoda dia membaca duluan penggalan-penggalan kata, lalu saya mengikutinya. Hasilnya... terbukti saya lancar dan cukup fasih...!

Diluar aktivitas itu, shaum di kampung halaman adalah momen liburan. Teman-teman kecil saya dari Bulak Caringin seperti Didin, Yayan, Riky dan lainnya... selalu membuat trip-trip kecil untuk mengisi ngabuburit. Trip yang paling menarik adalah perjalanan dan berkemah di tepian Sungai Cimonte. Di tepian sungai yang datar dan landai kita membuat sebuah sasaungan yang terbuat dari pelepah daun kelapa, ranting-ranting serta daun jerami atau daun kelapa sebagai atapnya. Daun jerami digelar pula di bawah sasaungan sebagai kasur dan alas tidur. Selain bersantai, kita juga menghabiskan waktu dengan marak menangkap ikan beunteur yang kala itu masih mudah dijumpai dan didapat di Sungai Cimonte.

Ketika dalam perjalanan pulang, terkadang menggunakan rute yang berbeda. Melewati pematang sawah, kebun-kebun palawija yang sedang berbuah, atau kebun buah-buahan. Disitulah kejadian tak terduga sering terjadi. Tanpa beban... kita memanen buah tomat, mentimun, buah sawo, jambu biji atau dawegan dari pohon kelapa kuning yang memang mudah digapai... padahal entah milik siapa... Awalnya adalah untuk menyiapkan diri buat berbuka...dan tragisnya kita justru berbuka lebih awal.... sebelum adzan maghrib tiba!

Trip yang mengasyikan lainnya, tentu saja adalah perjalanan ke Cipanas. Sebuah pemandian air panas yang telah disiapkan oleh alam. Jaraknya kurang lebih satu setengah kilometer di sebelah utara Desa Subang. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki melewati rute Bulak Caringin, terus ke utara menuju Kampung Cikadu. Di bawah sebuah bukit dan tepian Sungai Citiis, terdapat kolam air panas untuk berendam. Kolam tersebut berada di celah-celah sebuah batu besar. Air panas dengan aroma khas belerang tampak mengepul dan mengalir deras dari sela-sela bukit, sedangkan air dingin sebagai penetral panas dialirkan dari Sungai Citiis. Di depan kolam air panas ada sebuah leuwi, disitulah tempat berenang dan mendinginkan badan, ketika usai berendam di kolam air panas. Selain kolam tadi, ada pula "kolam" air panas kecil di dekatnya. Biasanya kolam ini dipakai oleh para pemula, yang tidak terbiasa dengan suhu air kolam utama yang relatif panas. Di kolam air panas kecil ini, air bisa diatur suhunya dengan cara mencampur air dingin yang sama-sama mengalir dari celah-celah batu bukit. Yang istimewa dari kolam ini, airnya bisa dikuras dan diganti setiap waktu, tentu saja bergiliran dengan pengunjung lain, karena memang hanya memuat dua atau tiga orang saja.

Masa itu, Cipanas relatif terasa cukup jauh dan sepi. Menjelang tengah hari, merupakan bagian yang paling horor. Orang tua dulu mewanti-wanti agar tidak berkunjung ke sungai khususnya menjelang tengah hari, alasannya adalah takut kabadi. Pengalaman saat itu, Cipanas di tengah hari bagi anak kecil memang cukup "menakutkan". Biasanya hanya ada satu atau dua orang saja yang tengah berendam di kolam utama yang berasal dari luar desa. Mereka adalah para pasien penyakit kulit yang tengah terapi air panas belerang. Mereka tinggal selama beberapa hari di "hostel" sederhana di depan pintu masuk Cipanas, setelah meminta ijin kepada "kuncen" yang berasal dari Kampung Cikadu. Namun menjelang sore hari, barulah kondisinya mulai ramai.

Lalu apa kabar Cipanas Subang sekarang...?

Tidak ada komentar: