Selamat Datang di Situs Wajit Subang. Ayo Bersilaturahmi Dekatkan Rezeki!

Selasa, 02 Desember 2008

Paperless

Ema ema meuli cabe,
boboko murag di dapur
Ema ema nyeri hate,
kabogoh di rebut batur

Hayang teuing rujak jambu,
ngeunah soteh dicikuran
Hayang teuing ka urang Cijambu,
geulis soteh dipupuran

Hmm... sudah cukup lama ya ngga mendengar baris-baris seperti itu. Itu adalah buah tangan semasa kecil, saat berlibur di rumah nenek di Pangandaran. Long time ago... kira-kira hampir tiga puluh tahun yang lalu... ha...ha... sekarang udah tuir dong!

Ketika kembali lagi ke Subang, ada "gadis kota" yang baru datang dan menjadi teman main. Sambil memeluk batang pohon kelapa, dinyanyiin deh baris-baris diatas, so sweet deh!

Dalam Budaya Sunda baris-baris itu disebut sisindiran. Yaitu bahasa yang diatur, biasanya murwakanti (memiliki kesamaan bunyi), dan bisa dinyanyikan (dikawihkeun), terdiri dari kulit (cangkang) dan isinya. Dua baris pertama adalah kulit dan dua baris terakhir adalah isinya. Semacam pantun dalam Budaya Melayu.

Selain sisindiran dikenal pula paparikan, rarakitan, dan sesebred. Budaya Sunda lainnya adalah Kinanti, Sinom, Asmarandana, Pupuh, dan Dangdanggula. Kesemuanya merupakan tradisi lisan dalam Budaya Sunda. Pada jamannya berfungsi sebagai media penyampai pesan, dan memiliki nilai kesenian.

Jaman telah bergeser, tradisi lisan kian ditinggalkan. Tradisi tulis dan cetak menggantikannya. Jika dulu mendongeng adalah tradisi tutur yang digemari, kini tradisi baca adalah penggantinya. Sehingga buku, majalah, tabloid, dan koran sesak memenuhi lemari-lemari perpustakaan. Sayangnya di Indonesia, sebelum budaya baca mengakar di masyarakat, teknologi visual sudah buru-buru hadir, sebut saja televisi, film, dan video. Sehingga disaat budaya baca belum internalized, tradisi tonton serta merta menggantikannya.

Tradisi tutur adalah tradisi "ramah lingkungan", karena identik dengan paperless. Tidak butuh berlembar-lembar kertas untuk menyampaikan pesan kepada khalayak. Semua konten tersimpan di memori kepala dengan rapi, dan siap dipanggil ulang saat akan dituturkan. Artinya kemampuan mengingat adalah kuncinya. Parameternya menjadi berbeda bila dibandingkan dengan masa sekarang. Jika "keilmuan" seseorang dimasa kini ditandai dengan deretan sekian banyak judul buku di perpustakaan pribadinya, maka pada masa yang lalu motifnya adalah seberapa banyak ia dapat bertutur dan menyimpan ilmu yang diketahui di dalam benaknya. Jadi seberapa banyak ia dapat menghafal? Bandingkan, hebat mana ya?

Maksud saya adalah meskipun teknologi kertas telah ditemukan berabad-abad yang lalu di Cina oleh Tsai Lun sekitar 105 M (lihat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Michel H. Hart), tetapi leluhur kita rupanya telah "sadar lingkungan". Penggunaan kertas yang berlebihan tentu akan menguras sumberdaya hayati, karena berarti semakin banyak pohon yang akan ditebang. Kian banyak hutan yang akan dirambah, maka semakin luas hutan yang berubah menjadi lahan marjinal hingga menjadi padang pasir...!

Sebelum semuanya terlambat, ada baiknya tradisi bijak masa lalu menjadi stimulus bagi kita. Sebagai contoh tradisi tutur tadi, semakin banyak mengingat rasanya akan semakin baik bagi kelestarian lingkungan, daripada semakin banyak mencetak... atau e-book mungkin lebih greene daripada hardbook... atau hal-hal yang tidak memerlukan otentisitas, second paper lebih tepat digunakan daripada new paper... atau recycle paper lebih bersahabat daripada kertas terbuang di keranjang sampah.

Tidak hanya dalam urusan tutur, orang dahulu juga bercita rasa dan sentimental dalam menyikapi situasi. Ketika mendengar cerita yang mengharu biru lewat dongeng dan sandiwara di radio, ia menghapus tangisan dengan sapu tangan. Bayangkan jika itu digunakan untuk menghapus derai air mata pasangan anda, dan anda yang melakukannya, kian romantis bukan?

Bandingkan juga saat orang dulu masuk ke toilet, semuanya dilakukan full hand contact dengan air sebagai media pembersih, lebih intim bukan? Atau saat pagi minum teh tubruk, lebih higienis dan bercita rasa bukan? Lagi-lagi semuanya paperless...!

Jadi gagasan go green, sebenarnya mudah untuk dimulai... tanpa kehilangan intimasi dan romantisme...! Maka bersiaplah dengan tradisi tutur yang baik, dan jangan lupa membawa sapu tangan, siapa tahu kesempatan itu ada... hmmm... menghapus air mata... siapa ya?

Entahlah...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas link dan dukungannya. Kami di sini mencoba untuk belajar memahami lingkungan di sekitar kami, mencoba untuk selalu memahami setiap perubahan yang terjadi dengan mencoba sedikit bijak untuk dapat membedakan mana explorasi dan mana exploitasi.
Sementara orang-orang di luar sana membicarakan tentang global warming, kami disini mencoba menahan diri untuk tidak menorehkan nama kami di kulit pohon, di batu-batu dan cadas dengan ujung pisau kami. Kami hanya ingin meninggalkan jejak(tapak) yang menyapa alam, bersatu dalam jiwanya, tanpa harus merasa telah berhasil menaklukannya.