Senin, 29 September 2008 adalah hari ke-29 puasa.
Puncak arus mudik tampaknya sudah lewat, karena hari libur resmi Lebaran 1429 H telah dimulai pada hari Sabtu yang lalu. Melihat pengalaman di masa lalu, puncak arus mudik biasanya bertepatan dengan awal liburan seperti hari Sabtu dan Minggu. Itu artinya jalur Pantura sebagai jalur utama mudik menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur, diperkirakan akan lancar.
Dugaan saya ternyata benar. Sejak naik bis dari Terminal Baranangsiang Bogor, penumpang umum sudah mulai jarang. Bis Indah Murni yang saya tumpangi, agak lama ngetem untuk mengisi penumpang. Saat melintas di tol Jagorawi pun suasana lalu lintas sudah lengang, sehingga perjalanan menuju Terminal Pulogadung ditempuh tidak lebih dari satu jam. Suasana yang sulit dijumpai pada hari-hari biasa di Jakarta.
Sayang kondisi ini menjadi antiklimaks bagi bis-bis umum antar kota. Bis-bis tujuan Cirebon dan Kuningan cukup banyak yang ngetem tanpa penumpang. Saya berdua termasuk penumpang pertama di bis Sahabat yang dinaiki di lajur ngetem. Penantian berjam-jam di lajur itu, hanya menambah sepasang suami istri dan seorang bayi sebagai penumpang baru. Akhirnya, awak bus berinisiatif memindahkan kami ke bis Sahabat lain yang relatif terisi oleh penumpang.
Pemandangan ini saya amati sudah mulai berlangsung sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Kini, para pemudik lebih memilih sepeda motor sebagai moda transportasi. Praktis atmosfir berbagai terminal pemberangkatan mudik, yang semula identik dengan kepadatan calon penumpang, rebutan bis dan tempat duduk, kelangkaan armada, hiruk pikuk para calo, sekarang sudah berubah.
Dominasi sepeda motor saat ini lebih mewarnai jalur mudik. Pertumbuhan angka jumlah sepeda motor belakangan ini, mulai terasa paska krisis moneter 1998. Kemungkinan fenomena ini terkait dengan kenaikan ongkos angkutan umum yang relatif tinggi, sebagai dampak kenaikan harga BBM yang telah berkali-kali. Penyebaran outlet atau dealer sepeda motor hingga ke pelosok kampung dari yang kelas authorized dealer sampai yang kelas "tenda", dengan berbagai iming-iming teknik pemasaran, didukung pertumbuhan leasing bak jamur di musim hujan dan kemudahan layanan, telah memudahkan konsumen untuk memindahkan sepeda motor itu dari ruang pamer ke ruang keluarga. Sehingga bisa jadi, mudik dengan bersepeda motor lebih efisien dan lebih praktis, meskipun harus menanggung resiko yang lebih tinggi di perjalanan.
Sebenarnya ada niatan untuk menjajal koneksi Matrix broadband 3,5G, ketika menunggu waktu keberangkatan Sahabat. Namun niat itu urung, mengingat faktor keamanan. Berbeda dengan moda angkutan kereta api seperti Cirebon Express yang masih memungkinkan mengakses gadget laiknya handphone atau mungkin notebook, di bis-bis umum rasanya hal itu belum memungkinkan. Barangkali sekian tahun ke depan... hmmm... siapa tahu?
Akhirnya, kesempatan membuka notebook tiba..., tapi jangan salah itu terlaksana setelah tiba di kampung halaman, selesai menempuh perjalanan sejauh 18 jam!... ha.. ha.. ha..
Pagi keesokan hari di Subang, usai shaur terakhir dan shalat Subuh adalah hari yang membahagiakan. Berkumpul dengan orangtua dan seluruh keluarga adalah momen terbaik. Beban "perkotaan" laksana terlepas, memasuki oase yang menyejukan di penghujung ramadhan 1429 H. Hai... Subang... I am coming!
Apakah Subang masih seperti yang dulu?
Bisa ya bisa tidak. Tentu dengan berbagai perubahannya. Sekurang-kurangnya Subang sekarang masih menyisakan kehangatan, itu yang saya rasakan... seperti saat ini... menulis sedikit journey bagian pertama, dibangku kayu yang menghadap kolam ikan dan persawahan, dibelakang rumah dengan ditemani semilir angin... yes, I am online di Subang!
Subang Purwakarta maksud anda?
Bukan... bukan... ini adalah Subang Kuningan... Subang telah berubah sekarang... Subang has lived... on the internet! Tidak lagi seperti dulu... itulah constant change!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar