Sungai Cimonte, Sukasari Subang
Jumat, 30 Mei 2008
Pulang Kampung ke Subang!
Mencintai... berawal dari tertarik, mengenal, dan berempati.... Oh ya, rasanya semuanya perlu proses, berarti datangnya tidak ujug-ujug, hit & run apalagi. Tradisi mudik tahunan atau pulang kampung adalah momen yang terbaik untuk kenal lebih dekat dengan kampung kita. Mungkin belum cukup, terlebih bila siklus pulang kampungnya lebih lama semisal berselang dua tahun, setahun sekali ke Subang dan tahun berikutnya ke kampung mertua. Perlu dikombinasikan dengan alasan lainnya, seperti saat acara syukuran keluarga yaitu sunatan dan pernikahan. Atau acara transfer dana via RTGS dan LLG ke anggota keluarga di Subang, atau yang lebih kekinian yaitu acara transfer pulsa ke Subang, sesekali digantikan dengan kunjungan silaturahmi on location. Rasanya akan lebih menarik bukan?
Lagi-lagi budget pulang kampung menjadi question mark? Kendala terbesar ya, saat biaya transportasi sebagai dampak kenaikan BBM menjadi topik memusingkan. Soalnya pulang kampung dengan tangan hampa, Apa Kata Dunia? Seterotipe bahwa masyarakat kota lebih "beruntung" daripada masyarakat desa, sepertinya telah menjadi cara pandang mayoritas. So, pulang kampung menjadi beban mental saat raga insani hadir di kampung, tetapi jiwa tertinggal di kota karena budget mepet, ngga bisa "berbagi". Masih cukup lumayan sih, bila masih ada niatan untuk berbagi...!
Pulang kampung dengan hadir secara ragawi seberapa pentingkah? Debatable rasanya, soal selera dan cara pandang, soal kemampuan, urgensi, dan momen. Pulang kampung alternatif seperti melewati forum ini, bisa jadi pilihan efisien, tatkala seluruh komponen biaya hidup melambung tinggi. Dunia maya tidak berarti dunia khayal! Semuanya dengan plus dan minusnya, lagi-lagi tergantung rasa dan pilihan masing-masing.
Selamat Pulang Kampung di dunia maya!
Lagi-lagi budget pulang kampung menjadi question mark? Kendala terbesar ya, saat biaya transportasi sebagai dampak kenaikan BBM menjadi topik memusingkan. Soalnya pulang kampung dengan tangan hampa, Apa Kata Dunia? Seterotipe bahwa masyarakat kota lebih "beruntung" daripada masyarakat desa, sepertinya telah menjadi cara pandang mayoritas. So, pulang kampung menjadi beban mental saat raga insani hadir di kampung, tetapi jiwa tertinggal di kota karena budget mepet, ngga bisa "berbagi". Masih cukup lumayan sih, bila masih ada niatan untuk berbagi...!
Pulang kampung dengan hadir secara ragawi seberapa pentingkah? Debatable rasanya, soal selera dan cara pandang, soal kemampuan, urgensi, dan momen. Pulang kampung alternatif seperti melewati forum ini, bisa jadi pilihan efisien, tatkala seluruh komponen biaya hidup melambung tinggi. Dunia maya tidak berarti dunia khayal! Semuanya dengan plus dan minusnya, lagi-lagi tergantung rasa dan pilihan masing-masing.
Selamat Pulang Kampung di dunia maya!
Minggu, 25 Mei 2008
Subang dalam Statistik
Sudah cukup lama beranjak dari Subang, yaitu saat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah. Andai saja saat itu ada sekolah tingkat menengah, tentu jalan ceritanya akan lain. Mungkin masih tinggal secara permanen di Subang, untuk berkarya, mencari nafkah, atau mengasihi kedua orang tua memasuki hari-hari tuanya. Tapi belum tentu juga ya, daya tarik kota hampir seperti magnet, bahkan memiliki gaya gravitasi yang terlalu kuat. Ibaratnya jika bola dilempar ke sebuah desa, pasti akan jatuh ke kota jua.
Kesenjangan desa kota bukan lagi cerita, tetapi fakta. Berapapun upaya dan dana dibelanjakan di desa, lagi-lagi berakhir di kota. Perputaran dana di desa selalu berujung dengan saldo minimum. Anda mungkin pernah membuktikannya bukan? Pada masa kecil saya pernah mengikuti perkemahan ABRI Masuk Desa Manunggal IX di Subang, adalah sebuah upaya untuk "menghidupkan desa". Atau padat karya, atau program pembangunan lainnya yang bercorak negeri atau pun swadaya, yang bersifat top down atau sebaliknya, sering berakhir dengan sad ending. Rasanya bukan tanpa hasil, tapi lebih tepat side effect-nya lebih banyak daripada main effect-nya. Kok, jadi pesimistis dan fatalis begini ya!
Sepertinya harus back to campus agar bisa memahami secara utuh, belajar banyak lagi tentang sosiologi pedesaan, dasar-dasar penyuluhan, komunikasi massa, teori perbandingan desa-kota, dll. Wah, kapan bisa bangun desanya...?
Eitt tunggu dulu, ternyata ada cara yang lebih instan. Tapi bicara metoda selalu bersiap dengan plus dan minus yah... nothing perfect in the world. Permah mendengar RRA - Rapid Rural Appraisal?. Kira-kira merupakan cara untuk mengukur potensi dan kelemahan suatu desa dengan cepat. Seperti neraca, apa yang lebih di lajur kiri dan apa yang kurang di lajur kanan. Terlalu berat nih temanya!
Bicara potensi, berikut Potensi Demografi Kecamatan Subang (Data Tahun 1999, sumber:http://speedtest.multidata.net.id/kuningan/jumlahpddk.html):
Kesenjangan desa kota bukan lagi cerita, tetapi fakta. Berapapun upaya dan dana dibelanjakan di desa, lagi-lagi berakhir di kota. Perputaran dana di desa selalu berujung dengan saldo minimum. Anda mungkin pernah membuktikannya bukan? Pada masa kecil saya pernah mengikuti perkemahan ABRI Masuk Desa Manunggal IX di Subang, adalah sebuah upaya untuk "menghidupkan desa". Atau padat karya, atau program pembangunan lainnya yang bercorak negeri atau pun swadaya, yang bersifat top down atau sebaliknya, sering berakhir dengan sad ending. Rasanya bukan tanpa hasil, tapi lebih tepat side effect-nya lebih banyak daripada main effect-nya. Kok, jadi pesimistis dan fatalis begini ya!
Sepertinya harus back to campus agar bisa memahami secara utuh, belajar banyak lagi tentang sosiologi pedesaan, dasar-dasar penyuluhan, komunikasi massa, teori perbandingan desa-kota, dll. Wah, kapan bisa bangun desanya...?
Eitt tunggu dulu, ternyata ada cara yang lebih instan. Tapi bicara metoda selalu bersiap dengan plus dan minus yah... nothing perfect in the world. Permah mendengar RRA - Rapid Rural Appraisal?. Kira-kira merupakan cara untuk mengukur potensi dan kelemahan suatu desa dengan cepat. Seperti neraca, apa yang lebih di lajur kiri dan apa yang kurang di lajur kanan. Terlalu berat nih temanya!
Bicara potensi, berikut Potensi Demografi Kecamatan Subang (Data Tahun 1999, sumber:http://speedtest.multidata.net.id/kuningan/jumlahpddk.html):
- Luas wilayah : 80,37 km2
- Jumlah keluarga : 7225 kk
- Jumlah penduduk : 27.604 jiwa,
- Penduduk Laki-laki : 13.470 jiwa
- Penduduk Perempuan : 14.134 jiwa
- Rata-rata per keluarga : 3,82 jiwa
- Rata-rata per km2 : 343,46 jiwa
- Sex ratio : 95,3
Sabtu, 24 Mei 2008
Akhirnya...!
Akhirnya...!
Sudah lama rasa terpendam... sebuah keinginan untuk mengenang kampung halaman dalam tampilan di dunia maya. Ya, baru kali ini punya sedikit waktu untuk duduk di depan keyboard diantara rutinitas perkotaan dan satu dua hari libur di akhir pekan. Rutinitas perkotaan yang penat dan melelahkan, rasanya telah membuat waktu yang terentang 24 jam seperti tidak cukup untuk berbuat hal lain, selain main job mencari rezeki. Sebagai bagian dari masyarakat perkotaan, saya telah terbentuk menjadi komunitas BP3 (Berangkat Pagi Pulang Petang). Tempat bekerja yang berada di pusat kota dan tempat tinggal yang tersebar di pinggiran sebagai satelit kota, memaksa komunitas pekerja harus bergiat dipagi buta saat ayam belum berkokok untuk segera berada di stasiun berebut tempat duduk dengan komunitas KRL atau apapun transportasinya dalam mencapai pusat kota.
Sebaliknya di sore hari, saat jam kantor berakhir selalu berupaya teng go dan berkelit dari tradisi lembur agar segera mencapai rumah, beristirahat yang cukup untuk mengulang tradisi yang sama esok hari. Hidup seperti gergaji, hanya satu alur bolak-balik dan cenderung satu warna. Tanpa improvisasi yang cukup, kemungkinan masyarakat komuter akan dilanda sindrom gergaji yang rentan dengan perasaan bored & tired. Intro blog yang agak berat ya!
Singkat cerita, masyarakat perkotaan dampaknya cenderung sentimental, agak sensitif, mudah emosional, tertutup dan serba tergesa. Akhirnya... kerinduan pada kampung halaman adalah salah satu oase kompensasi, pembebas!
Sudah lama rasa terpendam... sebuah keinginan untuk mengenang kampung halaman dalam tampilan di dunia maya. Ya, baru kali ini punya sedikit waktu untuk duduk di depan keyboard diantara rutinitas perkotaan dan satu dua hari libur di akhir pekan. Rutinitas perkotaan yang penat dan melelahkan, rasanya telah membuat waktu yang terentang 24 jam seperti tidak cukup untuk berbuat hal lain, selain main job mencari rezeki. Sebagai bagian dari masyarakat perkotaan, saya telah terbentuk menjadi komunitas BP3 (Berangkat Pagi Pulang Petang). Tempat bekerja yang berada di pusat kota dan tempat tinggal yang tersebar di pinggiran sebagai satelit kota, memaksa komunitas pekerja harus bergiat dipagi buta saat ayam belum berkokok untuk segera berada di stasiun berebut tempat duduk dengan komunitas KRL atau apapun transportasinya dalam mencapai pusat kota.
Sebaliknya di sore hari, saat jam kantor berakhir selalu berupaya teng go dan berkelit dari tradisi lembur agar segera mencapai rumah, beristirahat yang cukup untuk mengulang tradisi yang sama esok hari. Hidup seperti gergaji, hanya satu alur bolak-balik dan cenderung satu warna. Tanpa improvisasi yang cukup, kemungkinan masyarakat komuter akan dilanda sindrom gergaji yang rentan dengan perasaan bored & tired. Intro blog yang agak berat ya!
Singkat cerita, masyarakat perkotaan dampaknya cenderung sentimental, agak sensitif, mudah emosional, tertutup dan serba tergesa. Akhirnya... kerinduan pada kampung halaman adalah salah satu oase kompensasi, pembebas!
Langganan:
Postingan (Atom)