Sentosa Express, transportasi berbasis monorel yang menghubungkan daratan Singapura dengan Pulau Sentosa (foto: Adirahman)
Hari ini adalah genap sebulan sejak PT. KAI Commuter Jabodetabek secara resmi memberlakukan penggunaan tiket elektronik tarif progresif
Commuter Line (CL), yang ditandai dengan peluncuran kartu
Commet multirip. Apakah anda punya impresi, apresiasi, atau kesan khusus terhadap transportasi masal ini?
Hmm... terus terang kalau saya sih impresi selama sebulan ini ya... pegal-pegal... he..he.. Lho kok bisa...? Soalnya hampir seluruh aktivitas didominasi oleh pose berdiri... hi.. hi.. entah saat antrian membeli tiket di loket, menunggu kereta delay di peron, menunggu kereta jogrog yang ngga kunjung pintunya dibuka, dalam perjalanan berbilang menit di kabin kereta, menunggu kereta transit, atau saat mau tap out dengan antrian mengular di stasiun tujuan. Itu belum apa-apa lho...? Maka sebagai pengguna aktif Commuter Line rute Serpong - Sudirman atau Kemayoran - Serpong di hari kerja, mohon ijin berbagi rasa atau memberi bintang (jika ada... he..he...) untuk pelayanan CL selama ini.
Pertama, Kian Sesaknya Kereta Kami. Memang inilah yang terasa selama sebulan ini, suasana di kabin kereta kian sesak dan padat. Hampir tiada ruang untuk menginjakan kaki atau sekedar menaruh tangan agar badan tetap seimbang diantara olengnya kereta. Semua ring atau mistar untuk berpegang terpakai penuh, terlebih dikala jam berangkat dan pulang kerja. Seringkali mereka yang tidak bisa meraih keduanya, terpaksa memasang kuda-kuda ala pendekar Banten, atau terkadang pasrah terombang-ambing disela-sela himpitan punggung yang penuh dengan peluh.
Rasa ini semakin bertambah tatkala mesin pendingin berubah fungsi menjadi pemanas. Mesin pendingin yang seringnya tidak dingin ketika normal, menyulap kabin menjadi sauna. Karbon dioksida menumpuk akibat penumpang berjejal melebih kapasitas kabin. Beruntung, jika dalam perjalanan pagi kita masih mencium harum parfum atau wanginya sabun mandi, maka dalam perjalanan pulang di sore hari wewangian tadi sudah berganti dengan aneka bau yang lain tentunya. So, agar dapat menghirup oksigen yang cukup, beberapa roker secara kreatif membuka sebagian jendela.
Tragisnya, kepadatan yang abnormal itu terkadang ditingkahi oleh ulah hyperaktif sebagian penumpang, semisal mengobrol sepanjang perjalanan dengan volume suara yang menganggu, menjawab percakapan telepon, suara nada panggil telepon genggam yang berisik, terlalu banyak gerak untuk keperluan yang tidak perlu seperti memainkan telepon genggam atau membolak-balik majalah dan koran. Dalam beberapa hal potensi pelecehan seksual juga sangat terbuka, mengingat kontak pria dan wanita dalam satu kabin yang cukup intens, sulit dihindari. Dilain pihak, kepadatan juga menyebabkan pintu otomatis tidak bisa ditutup sempurna, karena terganjal atau memang sengaja "diganjal" penumpang.
Kemungkinan kian sesaknya kereta disebabkan oleh beberapa hal seperti: perjalanan kereta yang tidak sesuai jadwal akibat keterlambatan, jumlah gerbong dalam satu rangkaian tidak mencukupi (6 gerbong, sebagian diantaranya 8 gerbong), perpindahan penumpang dari rangkaian kereta lainnya, pertumbuhan jumlah populasi pengguna kereta akibat secara relatif tarif progresif menjadi "murah", dan terindikasi penumpang ilegal (kehadiran penumpang tanpa tiket atau tiket tidak sesuai moda). Untuk kasus yang terakhir ini, tampak dari cukup banyaknya penumpang keluar di stasiun tujuan sebagai contoh di Serpong yang tidak melewati gerbang tap out, melainkan melintasi rel. Berbeda halnya saat berlaku tiket manual, di kabin sejauh ini hampir tidak ada pemeriksaan pemilikan tiket.
Kedua, Butuh Energi dan Nyali Lebih. Anda harus benar-benar sehat lahir batin, jika anda telah memutuskan memilih CL untuk mengantar anda ke tempat bekerja. Bayangkan, energi anda sangat dibutuhkan saat mulai aksi berdiri diantrian loket, lalu antrian di gerbang tap in, berlanjut aksi berdiri di peron ketika menunggu kereta yang berbilang menit atau mungkin juga delay. Soalnya populasi calon penumpang di peron kecenderungannya membludak dan hanya tersedia beberapa baris kursi tunggu. Tragisnya di Stasiun Serpong nihil keberadaan kursi peron, maka siap-siap saja lutut dan kaki anda untuk diuji ketahanan... he..he.. Setelah maklumat bahwa kereta akan lewat di peron tertentu, anda mesti bersiap berada di antrian terdepan sambil berharap cemas mendapat tempat duduk di kabin. Ternyata itu saja belum cukup, membuang sedikit rasa malu dan nyali anda dituntut lebih untuk berjuang di depan pintu kereta yang belum terbuka, lalu berhimpit-himpitan dan tergopoh-gopoh berebut naik dan meraih tempat duduk yang belum tentu tersedia. Padahal penumpang yang hendak turun belum mendapat prioritas, maka aksi dorong arus masuk dan keluar kereta menjadi kejadian yang tidak terelakan dalam aksi perebutan "kursi".
Demikian halnya ketika kereta anda sampai di stasiun tujuan, anda perlu usaha keras "menerjang" calon penumpang yang akan naik ke kabin, sementara itu anda akan turun dari kabin. Lalu perjuangan berlanjut memperebutkan mulut tangga atau eskalator (jika ada) untuk pindah peron ketika transit atau menggapai emplasemen di lantai berikutnya. Disini aksi berdesakan berulang lagi dengan penumpang yang searah, diperparah berebut dengan calon penumpang yang berniat masuk ke peron. Keluar dari "halang rintang" ini bukan berarti selesai... jika anda penumpang transit, maka anda harus mengulang dari urutan pertama "ritual" menaiki CL ini, namun jika anda mengakhiri perjalanan di stasiun ini, bersiaplah anda harus rela mengantri lagi untuk tap out di gerbang keluar. Antrian di fase terakhir ini lumayan sangat panjang, terkadang tidak ada ruang emplasemen yang tersisa untuk antrian, karena setiap tap out membutuhkan beberapa detik, belum lagi memasukan kartu dan approval-nya untuk Commet singletrip, sehingga membutuhkan ekstra kesabaran agar anda benar-benar keluar dari area stasiun.
Selanjutnya bersiaplah merapikan gaun atau rambut anda yang mungkin sudah kusut masai atau barangkali sekedar men-setup ulang wewangian anda yang sudah jauh berubah... he..he..
Ketiga, Fasilitas Kereta yang Buruk. Sejauh ini fasilitas kereta yang "dijual" oleh PT. KAI Commuter Jabodetabek adalah keberadaan mesin pendingin (AC). Fasilitas inilah yang konon menjadi diferensiasi produk dan menjadi "value" dibandingkan dengan KRL ekonomi (almarhum red.). Sayangnya fasilitas ini di beberapa rangkaian kereta generasi awal, sudah tidak berfungsi optimal. Di pagi hari pada saat udara masih sejuk keberadaannya cukup dirasakan, namun sangat berbeda ketika perjalanan pulang di sore hari berfungsi layaknya mesin pemanas, hanya meninggalkan bunyi bising dan menebar hawa panas dari atap kabin. So, apa bedanya dengan KRL ekonomi yang sudah dialmarhumkan itu?
Terkait dengan rangkaian kereta generasi awal yang konon didatangkan dari Jepang itu, isteri saya bercerita kalau temannya yang kebetulan mengajar di perguruan tinggi negeri di bilangan Depok bertemu dengan kolega seniornya dari Jepang yang sedang berkunjung ke kampusnya. Suatu ketika koleganya itu melihat rangkaian kereta yang kebetulan lewat di depan kampus tersebut lalu spontan seakan berteriak: "Lho...! Itu kan kereta yang aku naiki waktu aku kecil...!" Teman isteri saya hanya berucap: "Masa sih...?" Ngga salah lagi, dibadan kereta rupanya masih tertulis hurup kanji yang kira-kira menyatakan rute yang dijalani kereta itu ketika masih beroperasi di Jepang. Sudah terlalu rentakah untuk beroperasi secara layak?
Dari pengamatan saya, sesungguhnya PT. KAI dari sekitar tahun 2000-an sudah berupaya mengoperasikan rangkaian KRL hasil produksi lokal PT. INKA. Demikian halnya di kereta CL, beberapa rangkaian hasil produksi PT. INKA sudah memperkuat jajaran itu. Kali ini penampakan produk lokal tersebut sudah kian "mirip" dan relatif cukup modern dari sisi desain. Namun, lagi-lagi kwalitas produk tersebut membutuhkan ujian dan proses untuk sejajar dengan produk luar sebelumnya. Terbukti ketika saya menaiki kereta tersebut sewaktu hujan lebat di pertengahan Juli kemarin, di kabin saya dihebohkan banjir air hujan yang menyembur dengan sangat deras dari ventilasi mesin pendingin diatas atap. Hampir sepanjang perjalanan, kenyamanan penumpang terganggu ulah guyuran air hujan itu, dari informasi beberapa penumpang kejadian tersebut terjadi pula di kabin lainnya.
Sementara pada kasus lainnya pintu otomatis terkadang membuka dan menutup sendiri secara berulang, dimana kereta sedang berjalan. Bayangkan jika ada penumpang yang sedang menyandar di pintu, tentu akan sangat membahayakan jiwa. Beberapa bagian lainnya seperti LCD yang terletak diatas pintu kabin juga hanya menjadi penghias tanpa terlihat berfungsi, bagian-bagian karet penyekat pintu otomatis dan penutup list atap kabin juga sudah tampak rusak dan terkelupas.
Suasana kabin MRT yang dioperasikan oleh SBS Transit di Singapura (foto: Adirahman)
Keempat, Fasilitas Stasiun yang Minimal. Kendati PT. KAI mulai berbenah diantaranya melalui sterilisasi stasiun dari okupasi pedagang dan pihak yang tidak berkepentingan, rasanya akselerasi dalam penambahan fasilitas stasiun perlu percepatan. Diantara yang mendesak adalah jumlah tempat duduk untuk menunggu yang layak dan memadai, peron yang nyaman dari gangguan hujan dan panas, konsistensi terhadap pelarangan keberadaan pedagang di kabin dan di peron, toilet umum yang manusiawi dan gratis tanpa syarat, serta parkir yang layak dengan luasan memadai.
Semoga saja di satu bulan usia e-ticketing ini, PT. KAI Commuter Jabodetabek tidak semata fokus mengejar perluasan pasar dan pertumbuhan populasi pengguna, melainkan lebih berorientasi terhadap peningkatan kenyamanan dan keamanan ber-Commuter Line. Rasanya belum terlambat mensejajarkan dengan kwalitas layanan transportasi massal dengan referal MRT negeri tetangga.
Pertanyaan yang harus segera terjawab adalah bagaimana memanusiakan pengguna di transportasi publik...?