Masih ingat bagaimana suasana perayaan kemerdekaan di Subang? Jika anda dari generasi tujuh puluhan ke bawah yang lahir dan besar di Subang Kuningan, maka anda tentu merasakan meriahnya Desa Subang menyambut perayaan 17 Agustus.
Coba sejenak kita memanggil kembali ingatan dua puluh tahunan ke masa lampau. Pasti terbayang kesibukan aktivitas masyarakat yang berbenah dalam berbagai hal, seperti mencat pagar, mencat rumah, bersih-bersih saluran air, bersih-bersih tepian jalan raya, mendekorasi kampung dengan gapura-gapura unik, dan tentu saja memasang bendera merah putih di setiap halaman rumah.
Sejumlah agenda kegiatan pun selalu digelar untuk memeriahkan, baik yang disusun untuk warga masyarakat maupun untuk kalangan pelajar. Yang diperuntukkan bagi kalangan pelajar biasanya lebih banyak jumlahnya, diantaranya gerak jalan antar sekolah, perkemahan Pramuka, pawai obor, karnaval, paskibra, dan pentas seni. Warga pun tak mau kalah dalam memeriahkan HUT RI tersebut, diantaranya adalah Pekan Olahraga antar Dusun dan Pekan Olah Raga Antar Desa yang diwarnai fanatisme akan timnya masing-masing. Serunya, fanatisme yang terkadang meluap-luap seringkali berbuah ketegangan di lapangan, atau berbuntut insiden-insiden di luar lapangan pertandingan. Namun semuanya itu berakhir manis dan lebur pada saat masyarakat tumplek blek pada puncak perayaan di lapangan upacara.
Di lapangan upacara, seluruh komponen masyarakat tidak sekedar hadir tapi berbaris rapih memenuhi seluruh lapangan upacara, mulai dari pelajar, muspika, pegawai negeri, ABRI, polisi, veteran, pertahanan sipil (Hansip), alim ulama, tokoh masyarakat, pemuda, PKK, majelis taklim, Dharma Wanita, dan anggota masyarakat lainnya. Ditengah-tengah matahari yang mulai terik, momen yang ditunggu-tunggu adalah prosesi pengibaran duplikat bendera pusaka oleh paskibra dengan formasi 17-8-45. Tim paskibra dengan seragam putih-putih lengan panjang, skarf merah di leher, dan peci hitam adalah tim pilihan dari siswa-siswi SMP Negeri Subang. Mereka telah berlatih disela-sela waktu belajar, ditengah terik matahari, dibawah bimbingan Kak Udin Komaludin dan asistensi bapak-bapak dari ABRI, beberapa minggu sebelumnya. Oleh karenanya penampilan mereka sangat istimewa di lapangan upacara.
Suasana diluar lapangan juga sangat meriah, masyarakat tua muda dengan pakaian seperti pada suasana lebaran membludak mengelilingi lapangan dan memenuhi jalan raya. Anak-anak kecil tanpa takut-takut memanjat pohon mahoni yang tumbuh dipinggir jalan dan lapangan, untuk mendapat view yang enak ke arah lapangan. Di tepian jalan raya tampak deretan para pedagang makanan dan mainan dadakan, tumpah ruah berdesak-desakan dengan para pembelinya. Mereka ada yang memang sehari-harinya berprofesi sebagai pedagang, namun tidak sedikit yang sebenarnya bukan pedagang tetapi memanfaatkan momen keramaian untuk berjualan. Diantara makanan yang khas adalah lotek daun ubi jalar, yaitu daun ubi jalar rebus diberi cairan ulekan gula merah kental, asam jawa, dan cabe rawit yang ditempatkan pada pincuk daun pisang. Adapula air lahang, asli diambil dari pohon kawung tanpa diberi campuran lainnya, dituangkan langsung dari wadah bambunya. Sebuah wisata kuliner tahunan yang menarik dan langka.
Menjelang tepat pukul 10.00 WIB sirine dan tabuh-tabuhan dibunyikan sebagai tanda peringatan detik-detik proklamasi. Seperti diketahui pukul 10.00 WIB merupakan waktu dibacakannya teks proklamasi oleh Ir. Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan hari Jumat.
Oh ya, selalu ada suara tabuh-tabuhan lo! Darimanakah suara tabuh-tabuhan itu? Anda masih ingat? Tentu saja... itu adalah bagian dari Memeron! Memeron adalah berbagai kamonesan atau kreasi warga yang mewakili berbagai dusun atau desa dengan tema-tema tertentu. Sejenis visualisasi dari berbagai karakter atau tema-tema yang dipilih, seperti kebhinekaan Indonesia, sejarah perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia, program dan hasil-hasil pembangunan, baik yang berupa model sampai pada bentuk aslinya, baik yang "bercerita" maupun yang alakadarnya. Kontestan Memeron dipersilahkan tampil bergilir ke depan lapangan upacara, sambil dinilai oleh tim juri. Kontestan yang memenuhi kriteria tertentu keluar sebagai juara dan mendapat hadiah. Ini adalah bagian yang paling unik dan menjadi favorit peserta upacara.
Begitulah sekilas antusiasme warga masyarakat memeriahkan perayaan HUT RI. Sederhana namun cukup berkesan dalam hati. Adakah romantisme itu masih ada di Subang sekarang? Dirgahayu Indonesia ke-63!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar