Jumat, 15 Agustus 2008
Munday, Sehari di Cimonte (Bagian ke-2)
Musim hujan merupakan masa pertumbuhan tanaman gadung. Sedangkan masa panen terjadi pada musim kemarau. Kondisi tanah yang kering, dan rerumputan disekitarnya mati, menjadi faktor yang memudahkan panen gadung. Dengan sedikit bantuan alat berupa cangkul, garpu atau linggis, umbi gadung yang terbenam di dalam tanah dapat diangkat dengan mudah.
Sebenarnya gadung tergolong tanaman beracun, sehingga diperlukan perlakuan khusus agar layak dikonsumsi. Di Subang, kaum ibu umumnya sudah faham akan hal itu. Gadung yang telah dipanen, dikupas lalu diiris tipis, dilumuri abu dari hawu. Kemudian dijemur dua sampai tiga hari. Atraksi jemur gadung di halaman atau ditepi jalan menjadi episode yang menarik. Para ibu meletakkan di tanah dalam deretan dan shaf yang teratur dan rapi, sampai tiba saatnya untuk merendam gadung di Sungai Citiis atau Sungai Cimonte. Sungai yang airnya mulai menyusut karena kemarau, membuat acara rendam gadung di dingkul aman tanpa khawatir hanyut. Efek rendaman dalam air yang mengalir akan mengurangi racun yang terkandung. Lebih lama rendaman, racun yang tereliminasi akan lebih banyak. Usai ritual "rendaman" barulah gadung dijemur.
Ritual rendaman gadung biasanya berlangsung bersamaan dengan tradisi Munday. Munday adalah tradisi tahunan memanen ikan di sungai. Prosesi munday dimulai jauh-jauh hari menjelang kemarau tiba. Sepanjang sungai yang airnya kian susut, dibeberapa bagian di "kavling-kavling". Tiap kavling ada pemiliknya. Tiap kampung mendapat jatah tersendiri.
Kavling sebenarnya merupakan bendungan atau kolam kecil untuk pengembangbiakan ikan. Bagi yang cukup bermodal bendungan-bendungan tersebut sengaja ditanami ikan. Sebelum tahun 80-an, Sungai Citiis dan Sungai Cimonte memang masih menyisakan ikan-ikan kecil yang secara alami hidup di aliran sungai.
Ketika masa pengembangbiakan dianggap cukup, hari H munday ditetapkan. Hari H munday diumumkan ke seluruh warga kampung, bersamaan dengan pricing list penggunaan alat bantu munday. Rupanya bagi warga yang masuk ke kavling umum dengan maksud ikut munday, ada retribusi keikutsertaan yang besarannya disesuaikan dengan alat bantu munday tadi. Anco, kecrik, ayakan, masing-masing punya tarif tersendiri. Sedangkan besar tangkapan ditentukan oleh keterampilan menggunakannya. Nasib baik juga sangat menentukan ding!
Munday bisa berlangsung seharian penuh, tergantung banyaknya kavling umum yang bisa dieksploitasi. Jika ditinjau secara menyeluruh, munday dapat berarti sebuah kelembagaan atau pranata sosial. Karena memiliki aturan dan nilai yang cukup baku. Yang menonjol adalah fungsi silaturahmi. Semacam reuni akbar tahunan warga, dimana kesempatan untuk saling mengenal terbuka luas. Soalnya seluruh komponen warga hampir semuanya turut serta, dari anak kecil sampai orang dewasa, dari nenek-nenek sampai gadis remaja. Siapa tahu ketemu jodoh disitu!
Kan ada lagunya Semalam di Cimonte! Salah ding... Sehari di Cimonte. Ngga cuma seminar yang sehari... Munday pun sehari...!!!
Selasa, 12 Agustus 2008
Munday, Sehari di Cimonte
Kalau sulit membayangkan, barangkali pilihan berikut dapat membantu. Kira-kira clue-nya seperti ini: kering kerontang, sulit air, deru debu, kabut asap, panas terik, kebakaran hutan, ... atau gagal panen. Bagaimana... sudah mulai terbayang? Atau pilihan tersebut tidak cukup membantu? Coba bandingkan dengan pilihan ini: langlayangan, kolecer, keripik gadung, ... atau munday!
Ha.. ha.. saya harap deretan opsi pertama bukanlah pilihan anda. Karena memang tidak desain untuk menggambarkan keadaan Subang di musim kemarau. Kalau saya lebih cenderung pilih aliran al-asyik aja. Artinya ingin membayangkan Subang pada bagian yang asyik-asyik aja. Karenanya opsi terakhir lebih mewakili kondisi Subang di musim kemarau daripada pilihan pertama. Kalau belum yakin boleh aja dicek, seperti apa musim kemarau sekarang ini!
Langlayangan, pasti semua tahu makhluk apa gerangan. Permainan ini dimainkan tidak hanya oleh anak-anak, melainkan diterbangkan pula oleh orang dewasa. Bagian yang paling menarik adalah episode adu layangan. Yaitu duel di udara antara satu atau lebih langlayangan, biasanya terdiri dari kombinasi akrobatik neureus, nyereng, ulur, tarik, ... dan banyak lagi gerakan tingkat lanjut. Semakin banyak gerakan yang dimainkan, menunjukkan si pengendali langlayangan adalah pilot yang mahir.
Target adu layangan tak lain adalah putusnya benang atau kenur dari layangan lawan. Oleh karenanya langlayangan dipersenjatai dengan benang gelasan. Yaitu benang yang telah ditempeli pecahan gelas yang telah ditumbuk halus dan dicampur bubur lem. Bubur lem tadi dioleskan pada sepanjang tali benang, lalu dibiarkan hingga kering. Setelah kering benang mampu memotong kenur atau benang langlayangan lawan dalam duel tadi.
Benang gelasan yang sudah jadi umumnya dijual di warung atau toko kelontong di Subang. Tetapi jika mau kreatif, bisa dibuat sendiri dengan hasil sedikit kasar, tergantung sentuhannya. Ketajaman gelasan yang baik mampu menggores telapak tangan, sehingga pemakaian kaos tangan pada saat adu layangan dapat mengurangi resiko itu.
Hal yang menarik dari episode adu layangan adalah munculnya fanatisme kampung. Sebut saja jika dua layangan bertemu dari Blok Manis dan Blok Kliwon atau dari Blok Pahing dengan Blok Puhun dan seterusnya. Permainan menjadi tambah seru, karena melibatkan supporter dari kedua belah pihak. Agar layangan bisa menjangkau lintas kampung, benang yang terentang bisa ratusan hingga ribuan meter. Duel layangan berakhir tatkala salah satu atau kedua layangan putus.
Saat itulah, acara mengejar layangan putus dimulai. Merupakan akhir cerita adu layangan, yang semarak dengan kejar-kejaran, adu kecepatan dan keberanian. Bahkan hingga manjat pohon pun dilakoni untuk menggapai layangan yang tersangkut diranting pohon.
Hampir sama dengan langlayangan, kolecer juga disukai oleh anak-anak dan orang dewasa. Kolecer yang dimiliki oleh orang dewasa, biasanya lebih besar. Semakin besar ukuran kolecer, diharapkan semakin besar pula suara yang dihasilkan. Ngajelegur adalah efek suara yang dinanti dari sebuah kolecer idaman. Biasanya ditandai dengan kembalinya posisi tiang bambu dari posisi tegak sebagai antiklimaks dari tiupan angin. Tetapi ternyata tidak semua kolecer mampu meraih oktaf ngajelegur tadi. Sebagian kolecer hanya mampu ngereng, atau malah cuma sekedar berputar kencang.
Tidak kalah dengan layangan, kolecer pun mengundang fanatisme. Setiap kampung punya tempat tersendiri untuk menancapkan kolecernya. Pasiran Manggu biasanya tempat favorit bagi warga Bulak Caringin, Pasiran Simpur bagi warga Paleben, Pasiran Dogdog bagi warga Jati dan Tarikolot, Pasiran Wuni bagi warga Sukasari dan Doyong. Kontes ngajelegur adalah bagian dari persaingan dan fanatisme tadi. Bahkan telah memunculkan tokoh tersendiri, diantaranya Pak Jumhur dari Paleben, Pak Eddi Wirya dari Bulak Caringin, Pak Eho dari Jati, dan lainnya. Semuanya adalah "the expert" yang mewakili kampung masing-masing.
Dikalangan anak-anak beredar cerita, bahwa permainan kolecer ini konon membuat heran tentara Jepang semasa penjajahan di Indonesia. Sampai-sampai tentara Jepang membongkar tanah disekitar tiang kolecer untuk mencari tahu dimana letak mesin yang membuat kolecer berputar dan menghasilkan suara. Apa betul ya?
(Bersambung...)
Jumat, 08 Agustus 2008
Profile Gallery Urang Subang
Urang Subang yang terhormat, terima kasih telah berkunjung ke blog ini.
Untuk saling mengenal lebih dekat dengan pengunjung blog lainnya, khususnya yang berasal dari Kecamatan Subang Kuningan, bagi yang berkenan dipersilahkan memposting profil anda pada rubrik ini. Format dan isi profil bebas. Profil dengan foto diri akan lebih baik.
Terimakasih.
Puasa di Pasiran Manggu
Seorang muslim pun tentu saja adalah seorang "penakluk". Bukan untuk menaklukkan bumi sebagai intruder atau dengan invasi layaknya alien. Juga bukan seperti cerita invasi ke Irak atau Afghanistan, atau aksi zionisme ke negeri Palestina, kemudian menduduki dan memporakporandakannya. Ya, kendati sama-sama sebagai penakluk, bagi seorang muslim tradisi penaklukkan yang diajarkan jauh berbeda. Dimensi dan content-nya amat sangat berbeda. Panjang kali lebar kali tinggi dan volumenya sama sekali tidak memiliki kesamaan.
Dimensi penaklukan seorang muslim tidak berbau materi, melainkan lebih transendental. Lebih maju dari sekedar penaklukkan bermotif minyak mentah atau perluasan ladang rezeki, kendati itu "diijinkan". Motif-motif itu kalaupun ada pada seorang muslim, idealnya adalah seperti remah-remah diantara jutaan butiran nasi. Seperti buih-buih ditengah samudera luas. Motif yang menonjol adalah ketuhanan semata. Yang ditaklukkanpun adalah hawa nafsu.
Muslim artinya berserah diri, sehingga sebagian besar tindakannya disandarkan atas ketaatan kepada khaliknya. Bukan karena tidak berakal, melainkan akalnya diarahkan untuk selalu mendekat kepada-Nya. Puasa adalah bagian dari metode penaklukkan itu. Sehingga saat seorang muslim mendapat perintah penaklukkan, semestinya kami mendengar dan kami taat.
Semasa kecil di Subang, atmosfir puasa sudah mulai terasa sejak bulan rewah (Sya'ban), bahkan beberapa bulan sebelumnya. Suka cita penyambutan puasa tergambar dari meningkatnya grafik ritual ibadah, lebih intensif dari sebelumnya. Tidak hanya orang tua, anak kecil pun terlibat dalam persiapan itu. Anak-anak yang biasanya bolong-bolong ke tajug atau mesjid, ujug-ujug rajin datang. Yang sholatnya sehari sekali pas maghrib aja, mendadak lebih dari lima kali sehari. Soalnya shalat sunnah pun ikut dikerjakan. Atau yang baca Qur'annya sekali seminggu pas baca Yassin aja, tiba-tiba tujuh kali seminggu. Tidak heran malam menjelang hari pertama puasa, tajug dan masjid mendadak penuh hingga ke serambi dan halaman depan. Tharawih pertama penuh sesak. Sebuah pemanasan puasa yang bagus!
Selepas tharawih adalah taddarus Al-Qur'an. Tentu saja, ngoprek adalah tradisi yang paling mengasyikan bagi anak-anak. Sebuah tradisi membangunkan macan tidur... eh salah ding! Membangunkan orang-orang yang mau sahur, dengan bunyi-bunyian atau lagu-lagu yang dibawakan dengan peralatan ala kadarnya. Saking ala kadarnya, terkadang ngga nyeni, suara sumbang pun jadi. Udara dingin dan rasa ngantuk, bukan masalah rasanya. Soalnya setiap bulan puasa adalah hari libur bagi anak sekolah. Sehingga anak-anak punya cukup waktu dan kemampuan untuk belajar mengikuti seluruh ritual puasa.
Setelah cukup tidur di pagi hari, saatnya mulai ngabuburit. Karena puasa sering bertepatan dengan musim kemarau, maka puasa artinya ngabuburit ke Pasiran Manggu, Pasiran Wuni atau Pasiran Simpur untuk kontes kolecer. Musim kemarau identik dengan musim angin, musim angin ya musim kolecer di Subang. Saking asyiknya main kolecer, sampai lupa akan rasa lapar. Terik matahari yang menyengat juga terabaikan dengan sekali-sekali nyebur ke kolam yang airnya jernih di dekat puncak Pasiran Manggu. Seperti diketahui, di Pasiran Manggu memang ada kolam berair jernih, tepatnya dibagian lereng yang menghadap ke arah Cipanas. Sambil menyelam, ya... benar-benar minum air. Semangat puasanya tetep!... tapi dasar anak kecil, hingga pulang ke rumah saat berbuka puasa, mengakunya tetap masih puasa... hi...hi...
Puasa memang berbeda dengan kewajiban bagi muslim lainnya. Jikalau yang lain menyaksikan kita shalat, berzakat, atau beribadah haji, maka kalau puasa hanya Allah dan dia saja yang mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa ia berpuasa. Itulah sebagian dari makna penaklukkan itu. Ibadah yang rahasia, Ibadah "penaklukkan". Selamat bersiap puasa!
Minggu, 03 Agustus 2008
Tong Hilap ka Basa Sunda!
Dirgahayu, muga-muga panjang-punjung, muga-muga panjang umur.
J
Joledar, lalawora nyumponan kawajiban ka nu jadi tanggunganana jeung teu heman ka baraya.
K
Kamonesan, 1. pangabisa anu lucu, alus atawa aneh: Budak teh geus aya kamonesanana, bisa ngigel; 2. kasenian.
Kawung, ngaran sarupa palem nu rea gunana: lahangna, injukna, daunna, buahna, ruyungna, jeung sajaba ti eta; kawung ece atawa kawung picis, ngaran batikan tulisanana siga siki kawung atawa caruluk.
L
Lahang, tuak amis tina leungeun kawung, kalapa jeung sabangsa palem lianna, sok diinum, dijieun gula jeung sajaba ti eta.
P
Pincuk, bungkusan leutik tina daun cau anu diseumat: suuk sapincuk, sabungkus leutik.
T
Tong, 1. wancahan tina entong atawa montong; 2. (Walanda), tahang; 3. (Cina), sabagian tina duit pungutan nu meunang ngadu keur nu boga imah (nyadiakeun tempat).
Sabtu, 02 Agustus 2008
Perayaan HUT RI
Coba sejenak kita memanggil kembali ingatan dua puluh tahunan ke masa lampau. Pasti terbayang kesibukan aktivitas masyarakat yang berbenah dalam berbagai hal, seperti mencat pagar, mencat rumah, bersih-bersih saluran air, bersih-bersih tepian jalan raya, mendekorasi kampung dengan gapura-gapura unik, dan tentu saja memasang bendera merah putih di setiap halaman rumah.
Sejumlah agenda kegiatan pun selalu digelar untuk memeriahkan, baik yang disusun untuk warga masyarakat maupun untuk kalangan pelajar. Yang diperuntukkan bagi kalangan pelajar biasanya lebih banyak jumlahnya, diantaranya gerak jalan antar sekolah, perkemahan Pramuka, pawai obor, karnaval, paskibra, dan pentas seni. Warga pun tak mau kalah dalam memeriahkan HUT RI tersebut, diantaranya adalah Pekan Olahraga antar Dusun dan Pekan Olah Raga Antar Desa yang diwarnai fanatisme akan timnya masing-masing. Serunya, fanatisme yang terkadang meluap-luap seringkali berbuah ketegangan di lapangan, atau berbuntut insiden-insiden di luar lapangan pertandingan. Namun semuanya itu berakhir manis dan lebur pada saat masyarakat tumplek blek pada puncak perayaan di lapangan upacara.
Di lapangan upacara, seluruh komponen masyarakat tidak sekedar hadir tapi berbaris rapih memenuhi seluruh lapangan upacara, mulai dari pelajar, muspika, pegawai negeri, ABRI, polisi, veteran, pertahanan sipil (Hansip), alim ulama, tokoh masyarakat, pemuda, PKK, majelis taklim, Dharma Wanita, dan anggota masyarakat lainnya. Ditengah-tengah matahari yang mulai terik, momen yang ditunggu-tunggu adalah prosesi pengibaran duplikat bendera pusaka oleh paskibra dengan formasi 17-8-45. Tim paskibra dengan seragam putih-putih lengan panjang, skarf merah di leher, dan peci hitam adalah tim pilihan dari siswa-siswi SMP Negeri Subang. Mereka telah berlatih disela-sela waktu belajar, ditengah terik matahari, dibawah bimbingan Kak Udin Komaludin dan asistensi bapak-bapak dari ABRI, beberapa minggu sebelumnya. Oleh karenanya penampilan mereka sangat istimewa di lapangan upacara.
Suasana diluar lapangan juga sangat meriah, masyarakat tua muda dengan pakaian seperti pada suasana lebaran membludak mengelilingi lapangan dan memenuhi jalan raya. Anak-anak kecil tanpa takut-takut memanjat pohon mahoni yang tumbuh dipinggir jalan dan lapangan, untuk mendapat view yang enak ke arah lapangan. Di tepian jalan raya tampak deretan para pedagang makanan dan mainan dadakan, tumpah ruah berdesak-desakan dengan para pembelinya. Mereka ada yang memang sehari-harinya berprofesi sebagai pedagang, namun tidak sedikit yang sebenarnya bukan pedagang tetapi memanfaatkan momen keramaian untuk berjualan. Diantara makanan yang khas adalah lotek daun ubi jalar, yaitu daun ubi jalar rebus diberi cairan ulekan gula merah kental, asam jawa, dan cabe rawit yang ditempatkan pada pincuk daun pisang. Adapula air lahang, asli diambil dari pohon kawung tanpa diberi campuran lainnya, dituangkan langsung dari wadah bambunya. Sebuah wisata kuliner tahunan yang menarik dan langka.
Menjelang tepat pukul 10.00 WIB sirine dan tabuh-tabuhan dibunyikan sebagai tanda peringatan detik-detik proklamasi. Seperti diketahui pukul 10.00 WIB merupakan waktu dibacakannya teks proklamasi oleh Ir. Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan hari Jumat.
Oh ya, selalu ada suara tabuh-tabuhan lo! Darimanakah suara tabuh-tabuhan itu? Anda masih ingat? Tentu saja... itu adalah bagian dari Memeron! Memeron adalah berbagai kamonesan atau kreasi warga yang mewakili berbagai dusun atau desa dengan tema-tema tertentu. Sejenis visualisasi dari berbagai karakter atau tema-tema yang dipilih, seperti kebhinekaan Indonesia, sejarah perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia, program dan hasil-hasil pembangunan, baik yang berupa model sampai pada bentuk aslinya, baik yang "bercerita" maupun yang alakadarnya. Kontestan Memeron dipersilahkan tampil bergilir ke depan lapangan upacara, sambil dinilai oleh tim juri. Kontestan yang memenuhi kriteria tertentu keluar sebagai juara dan mendapat hadiah. Ini adalah bagian yang paling unik dan menjadi favorit peserta upacara.
Begitulah sekilas antusiasme warga masyarakat memeriahkan perayaan HUT RI. Sederhana namun cukup berkesan dalam hati. Adakah romantisme itu masih ada di Subang sekarang? Dirgahayu Indonesia ke-63!